Aisyah, Bule Mualaf Asal Kolombia Bertahan Hidup di Bogor Dengan Memulung
Kamis, 24 Januari 2019
Edit
Perempuan 1/2 baya dari Kolombia Amerika Latin mendadak jadi perbincangan di media umum.
Menjadi mualaf, Aisyah Anisa tinggal pada Bogor, Jawa Barat, dengan mengandalkan berdasarkan hasil memulung.

Setelah viral, sekarang dia tidak sendiri lagi menanggung beban hidupnya. Beberapa kalangan & komunitas mulai berdatangan untuk memberikan donasi pada dia & anaknya.
Kisah pilu Anisa, perempuan 50 tahun itu mulai didatangi poly orang. Rata-homogen mereka yg tiba lantaran merasa prihatin dengan kehidupan Anisa yang sehari-hari memulung.
Tapi sekaligus takjub menggunakan prinsipnya pada menjaga keyakinan.
Umumnya, masyarakat negara asing yang tinggal pada Indonesia selalu hidup berkecukupan. Minimal, nir perlu memulung hanya buat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Tapi nir bagi Aisyah Anisa, yg bernama asli Martha Eugenia Rojas Avila itu justru hayati pada kepapaan di Kota Hujan. Sehari-harinya, ia mencukupi kebutuhan hayati menggunakan memulung.
Raisah, 20, anak semata wayangnya yang tinggal serumah dengannya kian menambah kepiluan hidup Anisa.
Raisah hanya bisa terbaring dan terkulai lemah karena penyakit kanker darah & stroke sejak setahun lalu.
Diajak bicarapun sulit. Ia telah diobati berkali-kali berdasarkan satu rumah sakit ke tempat tinggal sakit lainnya, namun, penyakitnya tidak kunjung sembuh. Anisa pun tak memiliki porto tambahan buat mengobati Raisah.
Kisah Anisa yg ramai diberitakan, rupanya dilirik oleh Yayasan Baitul Maal menurut Perusahaan Listrik Negara.
Mereka, beserta empat orang timnya, tiba pribadi ke kediaman milik Anisa di Kampung Curugmekar Kelurahan Curug Mekar.
Mereka menaruh donasi uang tunai santunan sebanyak Rp 4.000.000 untuk Anisa. “Sebenarnya kami sangat terketuk menggunakan perjuangan Anisa bertahan hayati.
Ditambah anaknya bernama Raisah jua menderita sakit lumpuh,” istilah Koordinator Bidang Pemberdayaan YBM LPM Badawi pada Radar Bogor (Jawa Pos Group).
Secara fisik, kontrakan loka tinggalnya cukup layak dan jauh berdasarkan kesan kumuh. Tak terlihat poly perkakas & barang-barang pada dalam tempat tinggal berukuran sekitar 4 x lima meter itu.
Radar Bogor mendatangi kediaman perempuan 50 tahun itu menjelang siang, sekitar pukul 12.00. Akses ke rumahnya relatif sempit. Hanya mampu dilewati tunggangan roda dua. Saya berkali-kali wajib bertanya pada rakyat setempat.
Meski banyak yang mengenalnya, tetapi jarang orang yg tahu rumahnya. Setelah beberapa mnt mencari, akhirnya ketemu.
Orangnya kebetulan sedang berada pada tempat tinggal . Maklum beliau harus terus mengontorol kesehatan putrinya Raisah, 20, yg hanya sanggup terbaring di kasur karena penyakit leukimia (kanker darah) yg dialaminya.
Aisyah Anisa sebenarnya bukan nama aslinya. Nama itu baru beliau pakai 20 tahun silam, semenjak dia menetapkan masuk Islam.
Di negara asalnya dan dokumen imigrasi,nama Martha Eugenia Rojas Avila masih sebagai identitasnya.
Dia juga masih berstatus masyarakat negara asing (WNA). Kepada wartawan dia pun lebih senang dipanggil Anisa.
Nama itu diberikan oleh seseorang yang mengislamkannya ketika ia tinggal di Bandung beberapa tahun lalu.
Awalnya, Anisa enggan membuka diri. Dia masih belum terbiasa menggunakan media. Namun, usang-kelamaan sikapnya mulai mencair.
Berkat Nuh, Ketua RT 02/04 Curug Mekar yang mau menyakinkannya. Nuh kebetulan keliru satu orang yang dekat dengan Anisa.
Tim radarbogor.Id memang telah janjian buat bertemu dengan Nuh pada kontrakan Aisyah. Hal pertama yg Anisa share merupakan tentang syarat anak semata wayangnya Raisah.
Dara 20 tahun itu lumpuh. Tak bisa berjalan atau sekedar duduk. Sebagian organnya nir berfungsi menggunakan baik dampak stroke. Bagian leher bengkak. Sementara kakinya terlihat seperti bekas luka lebam akut.
“Nih lihat,” kata Anisa menunjukan beberapa sisi kaki anaknya kepada wartawan.
Terlihat jelas bekas-bekas luka lebam berwarna merah di kaki kanan & kiri. Rupanya, bekas luka itu sudah usang ada. Dari kembali luka inilah, Anisa mulai terbuka.
“Dua puluh tahun lalu saya berlayar dengan kapal pesiar berdasarkan Amerika. Di sana, aku bertemu seseorang yg lalu menikah dengan saya. Saya dibawa ke Indonesia. Saya masuk Islam dan menikah dengannya. Saya tinggal di sebuah wilayah yang jauh dari sini,” kata Anisa dengan aksen khasnya.
Dari caranya berbicara, Anisa tampak mahir berbahasa Indonesia. Ia paham seluruh tutur kata yang ditanyakan. Ia pun tak canggung berbicara bahasa Indonesia dengan siapa pun.
Hanya saja, lidahnya menjadi orang asing tidak mampu disembunyikan. Setiap kata yg diucap masih terasa aksen Inggris versi british.
Dia menyebutkan saat pertama menginjakan kaki di Indonesia semua baik-baik saja. Dia tinggal bersama suaminya di Bandung. Bahagia. Mereka pun dikarunia anak Raisah.
Dia lahir pada keadaan normal. Cantik: gugusan Sunda-Kolombia. Meski lebih banyak Kolombia-nya.
Tetapi, lanjut Anisa petaka itu bermula waktu suaminya menetapkan menikah lagi yang tak lain merupakan pembantunya sendiri.
“Itulah yang membuat saya terpukul. Saya kemudian lebih memilih keluar berdasarkan tempat tinggal . Dan meninggalkan Bandung,” beber dia.
Di masa-masa pelarian ini, Anisa merasakan aneka macam nelangsa hidup. Ia pernah mendekam pada balik jeruji Lapas Paledang selama 3 bulan.
Hingga pernah tinggal dan hidup 5 bulan di loka pemakaman pemakaman generik (TPU) wilayah Jakarta.
Namun, di masa-masa pengembaraan itu, dia permanen memilih Bogor menjadi loka singgah dan muara akhir proteksi. “Saya makan apa saja. Yang krusial halal ketika itu,” ucapnya.
Kurang lebih selama setahun beliau hidup tidak pasti. Pindah-pindah kota. Bogor, Jakarta. Jakarta, Bogor. Menumpang kereta. Hidup di jalan.
Akhirnya beliau lelah. Dan memutuskan tinggal menetap. Kota Bogor dipilih sebagai tempat tinggal keduanya.
Tahun ini adalah tahun ke-12 beliau menetap pada Bogor. Wilayah kelurahan Curug Mekar adalah loka tinggalnya dari dulu sampai kini .
Di awal-awal menetap, Anisa mengaku sangat kebingungan. Dia tak mempunyai uang buat mengontrak rumah.
Sampai akhirnya dia tetapkan sebagai pemulung. Tidur masih nir tentu. Dimana saja yg penting kondusif. Dari situ sedikit-sedikit uang sanggup dia kumpulkan.
Dia pun ingin mendapat rezeki lebih. Caranya menggunakan memiliki gerobak sampah.
Dari gerobak sampah ini dia bertemu menggunakan Nuh, Ketua RT 02 RW 04 Kelurahan Curug Mekar. Yang menjual gerobak sampah pada Anisa.
“Ya aku memulung, aku ambil sampah. Saya berputar menurut rumah ke rumah yang lain. Saya ini Islam. Agama aku nir melarang saya buat memulung. Tapi agama aku melarang saya buat sebagai pengemis & peminta-minta. Lebih baik aku jadi pemulung menurut pada harus meminta dan mengemis kepada orang lain,” bebernya.
Sumber: jawapos.Com

Setelah viral, sekarang dia tidak sendiri lagi menanggung beban hidupnya. Beberapa kalangan & komunitas mulai berdatangan untuk memberikan donasi pada dia & anaknya.
Kisah pilu Anisa, perempuan 50 tahun itu mulai didatangi poly orang. Rata-homogen mereka yg tiba lantaran merasa prihatin dengan kehidupan Anisa yang sehari-hari memulung.
Tapi sekaligus takjub menggunakan prinsipnya pada menjaga keyakinan.
Umumnya, masyarakat negara asing yang tinggal pada Indonesia selalu hidup berkecukupan. Minimal, nir perlu memulung hanya buat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Tapi nir bagi Aisyah Anisa, yg bernama asli Martha Eugenia Rojas Avila itu justru hayati pada kepapaan di Kota Hujan. Sehari-harinya, ia mencukupi kebutuhan hayati menggunakan memulung.
Raisah, 20, anak semata wayangnya yang tinggal serumah dengannya kian menambah kepiluan hidup Anisa.
Raisah hanya bisa terbaring dan terkulai lemah karena penyakit kanker darah & stroke sejak setahun lalu.
Diajak bicarapun sulit. Ia telah diobati berkali-kali berdasarkan satu rumah sakit ke tempat tinggal sakit lainnya, namun, penyakitnya tidak kunjung sembuh. Anisa pun tak memiliki porto tambahan buat mengobati Raisah.
Kisah Anisa yg ramai diberitakan, rupanya dilirik oleh Yayasan Baitul Maal menurut Perusahaan Listrik Negara.
Mereka, beserta empat orang timnya, tiba pribadi ke kediaman milik Anisa di Kampung Curugmekar Kelurahan Curug Mekar.
Mereka menaruh donasi uang tunai santunan sebanyak Rp 4.000.000 untuk Anisa. “Sebenarnya kami sangat terketuk menggunakan perjuangan Anisa bertahan hayati.
Ditambah anaknya bernama Raisah jua menderita sakit lumpuh,” istilah Koordinator Bidang Pemberdayaan YBM LPM Badawi pada Radar Bogor (Jawa Pos Group).
Secara fisik, kontrakan loka tinggalnya cukup layak dan jauh berdasarkan kesan kumuh. Tak terlihat poly perkakas & barang-barang pada dalam tempat tinggal berukuran sekitar 4 x lima meter itu.
Radar Bogor mendatangi kediaman perempuan 50 tahun itu menjelang siang, sekitar pukul 12.00. Akses ke rumahnya relatif sempit. Hanya mampu dilewati tunggangan roda dua. Saya berkali-kali wajib bertanya pada rakyat setempat.
Meski banyak yang mengenalnya, tetapi jarang orang yg tahu rumahnya. Setelah beberapa mnt mencari, akhirnya ketemu.
Orangnya kebetulan sedang berada pada tempat tinggal . Maklum beliau harus terus mengontorol kesehatan putrinya Raisah, 20, yg hanya sanggup terbaring di kasur karena penyakit leukimia (kanker darah) yg dialaminya.
Aisyah Anisa sebenarnya bukan nama aslinya. Nama itu baru beliau pakai 20 tahun silam, semenjak dia menetapkan masuk Islam.
Di negara asalnya dan dokumen imigrasi,nama Martha Eugenia Rojas Avila masih sebagai identitasnya.
Dia juga masih berstatus masyarakat negara asing (WNA). Kepada wartawan dia pun lebih senang dipanggil Anisa.
Nama itu diberikan oleh seseorang yang mengislamkannya ketika ia tinggal di Bandung beberapa tahun lalu.
Awalnya, Anisa enggan membuka diri. Dia masih belum terbiasa menggunakan media. Namun, usang-kelamaan sikapnya mulai mencair.
Berkat Nuh, Ketua RT 02/04 Curug Mekar yang mau menyakinkannya. Nuh kebetulan keliru satu orang yang dekat dengan Anisa.
Tim radarbogor.Id memang telah janjian buat bertemu dengan Nuh pada kontrakan Aisyah. Hal pertama yg Anisa share merupakan tentang syarat anak semata wayangnya Raisah.
Dara 20 tahun itu lumpuh. Tak bisa berjalan atau sekedar duduk. Sebagian organnya nir berfungsi menggunakan baik dampak stroke. Bagian leher bengkak. Sementara kakinya terlihat seperti bekas luka lebam akut.
“Nih lihat,” kata Anisa menunjukan beberapa sisi kaki anaknya kepada wartawan.
Terlihat jelas bekas-bekas luka lebam berwarna merah di kaki kanan & kiri. Rupanya, bekas luka itu sudah usang ada. Dari kembali luka inilah, Anisa mulai terbuka.
“Dua puluh tahun lalu saya berlayar dengan kapal pesiar berdasarkan Amerika. Di sana, aku bertemu seseorang yg lalu menikah dengan saya. Saya dibawa ke Indonesia. Saya masuk Islam dan menikah dengannya. Saya tinggal di sebuah wilayah yang jauh dari sini,” kata Anisa dengan aksen khasnya.
Dari caranya berbicara, Anisa tampak mahir berbahasa Indonesia. Ia paham seluruh tutur kata yang ditanyakan. Ia pun tak canggung berbicara bahasa Indonesia dengan siapa pun.
Hanya saja, lidahnya menjadi orang asing tidak mampu disembunyikan. Setiap kata yg diucap masih terasa aksen Inggris versi british.
Dia menyebutkan saat pertama menginjakan kaki di Indonesia semua baik-baik saja. Dia tinggal bersama suaminya di Bandung. Bahagia. Mereka pun dikarunia anak Raisah.
Dia lahir pada keadaan normal. Cantik: gugusan Sunda-Kolombia. Meski lebih banyak Kolombia-nya.
Tetapi, lanjut Anisa petaka itu bermula waktu suaminya menetapkan menikah lagi yang tak lain merupakan pembantunya sendiri.
“Itulah yang membuat saya terpukul. Saya kemudian lebih memilih keluar berdasarkan tempat tinggal . Dan meninggalkan Bandung,” beber dia.
Di masa-masa pelarian ini, Anisa merasakan aneka macam nelangsa hidup. Ia pernah mendekam pada balik jeruji Lapas Paledang selama 3 bulan.
Hingga pernah tinggal dan hidup 5 bulan di loka pemakaman pemakaman generik (TPU) wilayah Jakarta.
Namun, di masa-masa pengembaraan itu, dia permanen memilih Bogor menjadi loka singgah dan muara akhir proteksi. “Saya makan apa saja. Yang krusial halal ketika itu,” ucapnya.
Kurang lebih selama setahun beliau hidup tidak pasti. Pindah-pindah kota. Bogor, Jakarta. Jakarta, Bogor. Menumpang kereta. Hidup di jalan.
Akhirnya beliau lelah. Dan memutuskan tinggal menetap. Kota Bogor dipilih sebagai tempat tinggal keduanya.
Tahun ini adalah tahun ke-12 beliau menetap pada Bogor. Wilayah kelurahan Curug Mekar adalah loka tinggalnya dari dulu sampai kini .
Di awal-awal menetap, Anisa mengaku sangat kebingungan. Dia tak mempunyai uang buat mengontrak rumah.
Sampai akhirnya dia tetapkan sebagai pemulung. Tidur masih nir tentu. Dimana saja yg penting kondusif. Dari situ sedikit-sedikit uang sanggup dia kumpulkan.
Dia pun ingin mendapat rezeki lebih. Caranya menggunakan memiliki gerobak sampah.
Dari gerobak sampah ini dia bertemu menggunakan Nuh, Ketua RT 02 RW 04 Kelurahan Curug Mekar. Yang menjual gerobak sampah pada Anisa.
“Ya aku memulung, aku ambil sampah. Saya berputar menurut rumah ke rumah yang lain. Saya ini Islam. Agama aku nir melarang saya buat memulung. Tapi agama aku melarang saya buat sebagai pengemis & peminta-minta. Lebih baik aku jadi pemulung menurut pada harus meminta dan mengemis kepada orang lain,” bebernya.
Sumber: jawapos.Com